Hasil Survei Kesehatan Mata Nasional 1993-1996
Survei Kesehatan Mata Nasional 1993-1996 (SKMN 1993-1996) adalah survei nasional pertama yang dilakukan di Indonesia untuk menilai prevalensi gangguan refraksi, kebutaan dan kelemahan penglihatan. Survei ini dilaksanakan oleh Kementerian Kesehatan RI bekerja sama dengan Lembaga Oftalmologi Masyarakat (LOM) Universitas Indonesia dan dipimpin oleh Prof. Dr. dr. Tjahjono dan Dr. dr. Mochamad Fahmi.
SKMN 1993-1996 dilakukan di 27 kabupaten/kota di Indonesia, terdiri dari 12 kabupaten/kota di Pulau Jawa dan 15 kabupaten/kota di luar Pulau Jawa. Survei ini dilakukan pada populasi usia 30 tahun ke atas dengan menggunakan metode multistage cluster random sampling. Data yang dikumpulkan meliputi gejala dan keluhan mata, pemeriksaan visus, pemeriksaan refraksi dan pemeriksaan penyakit mata.
Prevalensi Gangguan Refraksi
Gangguan refraksi adalah jenis gangguan mata yang paling umum di dunia dan sering kali bisa dicegah atau diobati dengan kacamata atau lensa kontak. Berikut adalah hasil prevalensi gangguan refraksi yang didapatkan dari SKMN 1993-1996:
- Prevalensi miopia (rabun jauh) adalah 14,4%. Prevalensi miopia paling tinggi terdapat pada kelompok usia 45-59 tahun (19,0%) dan paling rendah pada kelompok usia di bawah 30 tahun (9,1%).
- Prevalensi hipermetropi (rabun dekat) adalah 18,6%. Prevalensi hipermetropi paling tinggi terdapat pada kelompok usia 60 tahun ke atas (25,3%) dan paling rendah pada kelompok usia di bawah 30 tahun (11,8%).
- Prevalensi astigmatisme (kelainan lengkung kornea) adalah 34,1%. Prevalensi astigmatisme paling tinggi terdapat pada kelompok usia 30-44 tahun (42,6%) dan paling rendah pada kelompok usia di bawah 30 tahun (19,1%).
- Prevalensi presbiopia (rabun akomodasi) adalah 32,6%. Prevalensi presbiopia paling tinggi terdapat pada kelompok usia 60 tahun ke atas (73,1%) dan paling rendah pada kelompok usia di bawah 30 tahun (3,4%).
Dari hasil tersebut, dapat dilihat bahwa prevalensi gangguan refraksi tertinggi adalah astigmatisme dan presbiopia.
Prevalensi Kebutaan dan Kelemahan Penglihatan
Kebutaan dan kelemahan penglihatan adalah kondisi yang bisa mempengaruhi kualitas hidup seseorang. Berikut adalah hasil prevalensi kebutaan dan kelemahan penglihatan yang didapatkan dari SKMN 1993-1996:
- Prevalensi kebutaan (visus kurang dari 3/60) adalah 1,6%. Prevalensi kebutaan paling tinggi terdapat pada kelompok usia 60 tahun ke atas (8,2%) dan paling rendah pada kelompok usia di bawah 30 tahun (0,2%).
- Prevalensi kelemahan penglihatan (visus kurang dari 6/18) adalah 27,2%. Prevalensi kelemahan penglihatan paling tinggi terdapat pada kelompok usia 60 tahun ke atas (68,9%) dan paling rendah pada kelompok usia di bawah 30 tahun (4,4%).
Dari hasil tersebut dapat dilihat bahwa prevalensi kelemahan penglihatan jauh lebih tinggi daripada prevalensi kebutaan.
Faktor Risiko Gangguan Refraksi, Kebutaan, dan Kelemahan Penglihatan
Berdasarkan hasil SKMN 1993-1996, terdapat beberapa faktor risiko yang dikaitkan dengan gangguan refraksi, kebutaan, dan kelemahan penglihatan, yaitu:
- Usia: Semakin tua usia seseorang, semakin tinggi risikonya untuk mengalami gangguan refraksi, kebutaan, dan kelemahan penglihatan.
- Jenis kelamin: Wanita memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami gangguan refraksi, kebutaan, dan kelemahan penglihatan dibandingkan dengan pria.
- Riwayat keluarga: Seseorang yang memiliki keluarga dengan riwayat gangguan refraksi, kebutaan, dan kelemahan penglihatan memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami kondisi serupa.
- Pola makan: Konsumsi vitamin A yang cukup dan diet berbagai zat antioksidan dapat menurunkan risiko gangguan refraksi, kebutaan, dan kelemahan penglihatan.
- Paparan sinar matahari: Paparan sinar matahari yang terlalu lama dapat meningkatkan risiko gangguan refraksi, kebutaan, dan kelemahan penglihatan.
- Pekerjaan: Pekerjaan yang memerlukan penglihatan jarak dekat atau yang memaksa penglihatan jangka panjang dapat meningkatkan risiko gangguan refraksi dan kelemahan penglihatan.
Program Pengendalian Kesehatan Mata Nasional
Berdasarkan hasil SKMN 1993-1996, Kementerian Kesehatan RI mengembangkan Program Pengendalian Kesehatan Mata Nasional (PKMN) yang bertujuan untuk mengurangi angka kebutaan dan kelemahan penglihatan di Indonesia. Program ini meliputi:
- Pelayanan kesehatan mata: Penyediaan pelayanan kesehatan mata yang berkualitas di seluruh fasilitas kesehatan tingkat primer, sekunder, dan tersier di seluruh Indonesia.
- Pendidikan kesehatan mata: Penyuluhan dan promosi kesehatan yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya menjaga kesehatan mata dan pencegahan gangguan refraksi, kebutaan, dan kelemahan penglihatan.
- Pembangunan tenaga kesehatan mata: Pembinaan dan pelatihan tenaga kesehatan mata di seluruh Indonesia untuk meningkatkan kompetensi dan kapasitas tenaga kesehatan dalam menangani gangguan refraksi, kebutaan, dan kelemahan penglihatan.
- Penanggulangan kebutaan dan kelemahan penglihatan: Program untuk menangani kebutaan dan kelemahan penglihatan melalui operasi katarak, penyediaan kacamata, dan rehabilitasi visual yang meliputi pelayanan terapi okupasi dan penyuluh buta.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil SKMN 1993-1996, dapat disimpulkan bahwa prevalensi gangguan refraksi, kebutaan, dan kelemahan penglihatan cukup tinggi di Indonesia, terutama pada kelompok usia yang lebih tua. Oleh karena itu, program pengendalian kesehatan mata nasional harus dilakukan untuk menurunkan angka kebutaan dan kelemahan penglihatan di Indonesia.
Gambar Hasil Survei Kesehatan Mata Nasional 1993 1996pdf





